Ada Apa? 2 Pendapat Berbeda Soal Densus 88 Memata matai Jampidsus Febrie Adriansyah

31 Mei 2024, 19:53 WIB
Ilustrasi Densus 88 Antiteror Polri saat menampak terduga teroris Jaringan Islamiyah, di Lampung. (Foto/ Humas Polri). /

PIKIRAN RAKYAT BMR - Masyarakat Indonesia masih dibuat tanda tanya soal kasus dugaan sejumlah anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah.

Kejadian Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah terjadi pada Minggu 19 Mei pekan lalu. Saat itu Jampidsus Febrie Adriansyah berada di sebuah restoran di Jakarta Selatan.

Anggota Densus 88 yang diduga memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah sudah diamankan ke Paminal Mabes Polri.

Setelah dilakukan pemeriksaan, anggota Densus 88 yang diduga memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah itu tidak ditemukan masalah.

Viralnya kasus dugaan anggota Densus 88 yang diduga memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah sangat menyita perhatian publik.

Terlebih, hingga saat ini baik Polri dan Kejagung belum memberkan motif dan siapa otak atau yang memerintah anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah.

Kasus anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah mendapat berbagai tanggapan.

Berikut ini 2 pendapat yang berbeda soal kasus anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah.

Analisa terkait kasus dugaan penguntitan diduga dilakukan Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah itu, datang dari Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan dan Guru Besar Universitas Padjadjaran Prof. Muradi.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan menyatakan tuduhan penguntit sangat tidak beralasan.

Dilansir dari Antara, 31 Mei 2024, bahkan Dr Edi Hasibuan menegaskan, hubungan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddi baik-baik saja, dan tidak ada masalah lagi antara kedua lembaga penegak hukum tersebut.

Sementara, Guru Besar Universitas Padjadjaran Prof. Muradi berbeda pendapat dengan menilai spionase ini juga akibat dari kurangnya sinergitas antara beberapa lembaga. Lembaga tersebut yaitu Kejaksaan Agung itu sendiri, KPK, dan Polri.

Berikut ini ketarangan lengkap kedua tokoh tersebut terkait dengan kasus anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah.

Baca Juga: Densus 88 Diperintah Elite Politik TNI Polri Menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah? Isi HP Terduga Ini

1. Dr Edi Hasibuan

Dilansir dari Antara, Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) menilai tuduhan sebagai penguntit pada anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah tidak beralasan.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan menuturkan, tuduhan penguntit sangat tidak beralasan.

Sebab kata Edi, Restoran itu adalah tempat umum.

"Tidak ada alasan kuat buat Propam Polri bahwa anggota Densus 88 Polri tersebut melakukan pelanggaran," kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan di Jakarta, Jumat.

Edi mengatakan tuduhan juga tidak kuat karena tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada laporan resmi juga.

Menurut dosen Pascasarjana Universitas Bhayangkara Jakarta itu, jika persoalan ini masih terus bergulir di publik maka hal itu menjadi aneh mengingat antara Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sudah bertemu di Istana Kepresidenan tiga hari setelah kejadian.

"Bahkan Kapolri dan Jaksa Agung sudah melakukan klarifikasi dan bersalaman. Hubungan keduanya juga baik-baik saja dan tidak ada masalah lagi antara kedua lembaga penegak hukum tersebut," katanya.

Terkait dengan hasil pemeriksaan Divisi Polri terhadap seorang anggota Densus 88 Anti Teror Polri, Edi menyebutkan Polri telah bekerja secara profesional.

"Untuk sementara, pemeriksaan menyimpulkan tidak ada pelanggaran dilakukan anggota tersebut mengingat lokasi itu adalah tempat umum dan bisa dikunjungi oleh siapapun juga," katanya.

Dia mengatakan sikap Polri yang tidak terpancing dengan opini pihak lain merupakan sikap elegan dan bentuk kedewasaan Polri merespon berbagai persoalan saat ini.

"Kami mendukung Polri untuk tidak reaktif terhadap isu-isu yang berkembang yang sengaja diduga dibangun untuk tujuan memojokkan kinerja Polri," katanya.

Edi berpendapat untuk membuat sejuk polemik itu, TNI menarik personel polisi militer di Kejaksaan Agung.

"Kami yakin semua akan aman. Apalagi hubungan Polri dan Kejaksaan Agung selama ini sangat baik antara sesama penegak hukum," katanya.

Itulah pendapat Dr Edi Hasibuan terkait kasus anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah.

2. Prof. Muradi

Analisa dari Guru Besar Universitas Padjadjaran Prof. Muradi terungkap bahwa, kasus dugaan spionase tersebut seharusnya tidak terjadi apabila Jampidsus secara clear menangani kasus ini dengan utuh.

Dijelaskan Muradi, Jampidsus menyerempet kasus timah yang memunculkan risiko politik yang juga diduga melibatkan elite-elite di TNI, Polri, termasuk elite politik.

Muradi menyarankan Jampidsus tidak memilah siapa saja yang akan diproses dalam kasus timah.

Muradi juga mengatakan spionase ini juga akibat dari kurangnya sinergitas antara beberapa lembaga.

Lembaga tersebut yaitu Kejaksaan Agung itu sendiri, KPK, dan Polri. Para lembaga ini punya cara masing-masing dalam menangani kasus.

"Kasus spionase yang menimpa Pak Febri sebagai Jampidsus ini seharusnya tidak perlu diperdebatkan atau disalahkan. Ini juga pernah menimpa Pak Tito Karnavian yang saat itu menjabat sebagai Kapolri," kata Muradi saat diwawancarai pada Minggu, 26 Mei 2024, dilansir dari pikiran.rakyat.com

Spionase ini pun sebagai bentuk saling mengingatkan, jadi apabila tidak merasa mempunyai masalah maka sebaiknya bersikap biasa saja.

"Pak Sutarman pun pernah di-profiling seperti ini. Bahkan Pak Tito dulu sering berganti ponsel dan ganti pengawal," katanya.

Terlebih kata Muradi, Pak Febri ini bukanlah seorang Nabi pasti ada salahnya.

Sehingga akan dicari celah kesalahan tersebut karena menyerempet elite-elite dari TNI, Polri, termasuk elite politik tersebut.

"Bagi kita masyarakat sipil, spionase tersebut sebenarnya bagus. Ini karena semuanya bisa saling bongkar kesalahan-kesalahan yang ada di lembaga-lembaga penegak hukum. Hanya saja problem Jampidsus adalah adanya dugaan pemilahan siapa saja yang akan diangkat kasusnya," katanya.

Apalagi semua lembaga penegakkan hukum ini sedang bersaing. Terutama dalam menjaga muruahnya masing-masing.

"Ini karena jika dibuka kasus timah tersebut, maka akan didapat siapa-siapa saja yang terlibat. Siapa yang masih menjabat dan yang sudah tidak menjabat termasuk data lengkapnya," katanya.

Jadi spionase ini kata Muradi, merupakan akibat apa yang dilakukan Jampidsus yang diduga akan memilah tadi.

"Apalagi yang melakukan spionase adalah pada tingkatan bintara. Ini bukan hal yang besar lah apalagi diperdebatkan," katanya.

Disinggung apakah kegiatan spionase ini melanggar hukum menurut Muradi seharusnya memang harus ada izin dari pengadilan.

"Ada yang terbuka dan yang tertutup terkait spionase ini. Jika tidak ada izin maka melanggar hukum, kejadian kemarin tersebut juga apakah ada yang memberikan perintah atau tidak," katanya.

"Secara holistik spionase yang melibatkan TNI dan Polri ini pun merupakan distorsi masalah. Sebaiknya semuanya harus bersinergi dengan baik terutama empat lembaga penegak hukum, empat lembaga tersebut adalah TNI, Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung," katanya.

 

Itulah pendapat Prof. Muradi terkait kasus anggota Densus 88 memata-matai atau menguntit Jampidsus Febrie Adriansyah.***

Editor: Sutrisno Tola

Sumber: Pikiran Rakyat ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler